Rabu, 18 Mei 2011

Nita dan Batik Indigo

Dengan tanaman Indigo, atau nila, Nita berusaha untuk melestarikan batik Jawa dengan pewarna alami.

Jakarta, Indonesia (News Today) - Dengan tanaman Indigofera tinctoria, atau lebih dikenal dengan sebutan tanaman nila, Mayasari Serkarlaranti atau Nita berusaha melestarikan batik Jawa dengan pewarna alami.

"Batik indigo itu salah satu produk batik yang kami celup dengan pewarnaan dari daun alami, indigo," kata Nita kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (11/5/2011). Kini ia telah memiliki Galeri Batik Jawa sebagai tempat usahanya di lima kota, mulai dari Jakarta hingga Semarang.

Dengan pewarnaan alami yang berasal dari daun indigo ini, jadilah batik yang berwarna biru, yang ia sebut dengan "Colour of The King" mengingat warna biru dipakai dalam pakaian raja-raja Jawa zaman dahulu.

Namun, sekalipun dominan biru, batik indigo pun bisa dicampur dengan warna lainnya. Untuk ini, Nita pun tetap menggunakan pewarna alami, seperti dari kulit batang mahoni untuk warna coklatnya. "Saya cuma melestarikan saja. Dulu batik Jawa semuanya pakai warna alam, salah satunya (daun) indigo," tutur wanita yang memiliki latar belakang pendidikan arsitektur dan desain interior ini.

Proses pewarnaan dengan menggunakan indigo ternyata tidak mudah. "Karena, memang terus terang proses untuk batik indigo ini masih dikatakan (bisa) 15 sampai 20 kali celupan. Sementara untuk batik-batik dengan warna biru kimia cukup dua kali celup sudah selesai," ujarnya.

Selain itu, faktor cuaca cukup berpengaruh. Panas matahari dibutuhkan untuk proses pengeringan setelah proses celup selesai. Ia pun menyebutkan, proses celupan bisa memakan waktu dua minggu hingga satu bulan. "Satu kain itu butuh minimal 10 kilogram daun indigo basah," ujarnya. Dari 10 kg daun itu dapat menghasilkan 1 kg campuran indigo.

Perkenalan batik indigo melalui pameran pun baru dilakukan tahun 2009 di Jakarta. Namun, penelitian untuk menggunakan warna biru dari daun, yang kini ditanamnya sendiri di lahan seluas 5.000 meter persegi, telah memakan waktu tujuh tahun.

Tahun 2006, saat gempa di Yogyakarta terjadi, ia pun membuat pendampingan untuk para perajin batik di Imogiri guna melakukan pencobaan proses celup dengan daun indigo. "Kalau Galeri Batik Jawa sendiri dari (tahun) 2005 sudah berdiri," ucapnya.

Di Galeri ini, 90 persen produk yang dijual merupakan batik indigo, selebihnya batik titipan dari para perajin batik desa.

Ia menceritakan, dirinya sempat mengalami kendala teknis, yaitu ketersediaan daun indigo. Sebelum membudidayakannya, ia hanya mengandalkan pencarian daun di pinggir pantai, sekitar lapangan bola, sekitar pabrik gula peninggalan zaman Belanda.

Sekalipun menemui sejumlah kesulitan, seperti kenaikan harga bahan baku, ia tetap berusaha menggunakan pewarna dari daun indigo 100 persen. Meskipun sudah ada yang menjual pewarna ini di pasar, ia tetap memproduksinya sendiri karena takut sudah ada campuran kimianya. "Intinya, sebenarnya pewarna alami untuk Indonesia ada nilai lebihnya karena kami membuatnya masih dengan proses batik," katanya.

Mengenai pemasaran, dirinya mengaku masih dalam tahap mengenalkan batik indigo ini agar dikenal oleh masyarakat Indonesia dulu sebelum menembus ke luar negeri. "Belum. Lebih banyak (promosi) dalam negeri," ungkapnya.

Namun, ia pun tidak menampik jika ada permintaan hadir di pameran-pameran yang diadakan di luar Indonesia. "Tapi, di luar negeri, sering juga KBRI Jepang, Singapura. Kami diundang ke pameran," tuturnya.

Harga batik indigo ini tidak jauh berbeda dengan batik pada umumnya, yakni berkisar Rp 245.000-Rp 1,2 juta per produknya. Saat ini ia mempunyai 20 pekerja untuk proses pencelupan. Adapun untuk proses menenun hingga menulis dengan canting, pihaknya bekerja sama dengan para perajin.

Source : kompas

noreply@blogger.com (News Today) 19 May, 2011


--
Source: http://www.newsterupdate.com/2011/05/nita-dan-batik-indigo.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar